Thursday, April 25, 2024
26.2 C
Jakarta
More

    Kenali Perbedaan Antara Toxic Positivity & Optimis

    Bagi kamu yang menggunakan media sosial secara aktif, mungkin kamu sering melihat beragam unggahan konten yang mengajak semua orang untuk selalu bersikap positif, salah satunya optimistic. Sikap optimis memang bermanfaat bagi kesehatan kita semua. Namun, tahukah kamu kalau sikap optimis tanpa rasa empati bisa berubah menjadi toxic positivity? 

    Toxic positivity tidak selalu muncul di media sosial. Hal ini dapat terlihat ketika kamu sedang berkeluh kesah kepada teman atau orang lain. Pada awalnya mungkin terlihat baik, tetapi hal tersebut malah menimbulkan emosi negatif pada kamu yang menerimanya. Perlu kita ketahui lebih jelas, sebenarnya apa perbedaan sikap optimis dengan toxic positivity. 

    Perbedaan sikap optimis dengan toxic positivity

    Toxic positivity merupakan sikap positif, namun bersifat seperti racun. Hal itu muncul ketika seseorang percaya bahwa untuk menjalani hidup yang benar hanya dapat dilakukan dengan sikap positif saja. Kamu ditekankan untuk hanya boleh fokus pada hal-hal positif dan membuang semua emosi negatif. Padahal, jika kamu melakukan hal tersebut, kamu malah menumpuk emosi negatif dalam dirimu, bahkan dapat membuat dirimu merasa lebih buruk. 

    Lain hal dengan sikap optimis, toxic positivity merupakan sikap yang keliru. Sikap tersebut memaksamu untuk mengabaikan rasa sedih, kecewa, marah, dan emosi lainnya. Hal ini dapat membuatmu menyalahkan seseorang atas perasaan yang sedang kamu alami. 

    Photo by Andrea Piacquadio (Pexels.com)

    Ada beberapa contoh kata-kata toxic positivity yang mungkin pernah kamu dengar atau lihat di media sosial:

    1. “Cobalah lebih bersyukur, di luar sana banyak orang yang masalahnya lebih berat darimu.”
    2. “Lihatlah sisi positifnya. Jangan terlalu dipikirkan, kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari sekarang.”
    3. “Jangan menyerah, kamu pasti bisa!” 
    4. “Suatu hari masalahmu pasti selesai”
    5. “Jangan menjadi orang yang negatif” 

    Jika kamu melihat atau mendengar kata-kata tersebut dari orang lain, mungkin sebenarnya ia memiliki niat baik. Namun, mereka menyampaikannya dengan cara dan di waktu yang kurang tepat. Mereka pun sebenarnya tidak sadar bahwa ucapannya yang terdengar positif malah membuat orang yang mendengarnya merasa lebih buruk. 

    Apa yang sebaiknya kamu lakukan?

    Sebenarnya tidak ada yang salah dari menyebarkan pesan positif, baik melalui media sosial atau secara langsung kepada seseorang yang sedang curhat kepadamu. Hanya saja, kamu perlu memperhatikan waktu dan cara yang tepat untuk menyampaikannya. Begitu pula sebaliknya, ketika kamu sedang bercerita kepada orang lain, mungkin kamu merasa lebih lega karena sudah meluapkan segala emosi yang kamu rasa. Emosi yang kita rasakan dapat membantu kamu dan orang tersebut mengenali suatu masalah. 

    Photo by Andrea Piacquadio (Pexels.com)

    Kemudian, bagaimana jika teman dekatmu yang menyebarkan toxic positivity? Ini adalah hal yang tidak mudah, namun jika pesan yang disampaikan sangat mengganggu kamu, maka kamu dapat menjauhkan diri sejenak. Meskipun rasanya sedih ketika berada dalam masalah, dan kamu belum bisa menceritakan hal tersebut kepada teman, kamu berhak untuk tidak melakukannya. Kamu juga berhak mengucapkan terima kasih dengan memberi tahu pada temanmu bahwa pada saat ini masih sulit berpikir positif dan memerlukan waktu sendiri sampai rasa sedih yang dirasa berkurang. 

    Kedua sikap tersebut adalah dua hal yang berbeda. Sikap optimis bermanfaat supaya kamu melihat pengalaman hidup dari sisi yang positif, namun tidak mengabaikan emosi negatif. Sedangkan, toxic positivity adalah sikap yang membuat kamu perlu membuang semua perasaan buruk. 

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here

    Exit mobile version